Prestige-nya Biaya Pendidikan Dasar Islam


Tazkirah.net 
Saya sebagai orangtua bagi anak-anak saya, sangat ingin sekali agar mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan garis-garis sunnah yang telah ditauladankan oleh Rasulullah, para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Namun rupanya kondisi di sekitar sangat tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Entah karena memang saya belum berkemampuan mencari tempat tinggal yang lebih kondusif atau mungkin memang inilah satu kesulitan jika tinggal di tengah-tengah masyarakat yang pola budaya Nahdhiyin nya terasa begitu kental.

Sebagaimana kata pepatah, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Artinya saya mau tidak mau harus sesigap mungkin menghindari terjadinya kles di tengah-tengah mereka. Sejenak saya mesti meletakkan karakter idealis saya terkait dengan pola bermuamalah dengan masyarakat. Artinya saya mencoba mengimplementasikan kaidah "meninggalkan maslahat demi menghindarkan mudharat yang lebih besar." 

Hal ini termasuk di dalamnya adalah memilihkan lembaga pendidikan bagi anak saya. Idealnya saya ingin anak saya yang setingkat kelas 1-3 SD ini bersekolah di Sekolah Dasar atau lembaga yang berasaskan Islam (bukan SD Negeri) dan lebih spesifiknya lagi, saya menginginkan Sekolah Dasar yang non Nahdhiyin, artinya lembaga pendidikan yang menghindari pola pendidikan berbasis Nahdhiyin yang biasanya sarat dengan ritual-ritual ijtihad kaum Nahdhiyin. Seperti sholawatan, kasidahan, marawisan dan nyanyian-nyanyian lain yang semua kebanyakan bersumber dari ijtihad kaum Nahdhiyin. 

Sebelumnya, saya mau menggarisbawahi kata sholawatan disini. Yang saya maksud sholawatan di atas adalah, kalimat-kalimat syair dan pujian gubahan beberapa penyair muslim yang dilantunkan dengan nada-nada tertentu. Bukan teks sholawat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah dan para sahabat. Belakangan ini ada kesalahpahaman yang terjadi antara kaum muslimin terkait kata sholawat dan sholawatan ini. Dan hal itu terjadi hanya di Indonesia. Menurut hemat saya seharusnya tidak ada yang perlu disalahkan dalam hal ini, hanya saja reaksi yang datang dari kaum muslimin tentu saja berbeda. Tidak harus semuanya sama. Saya termasuk yang berusaha berhati-hati dalam mengikuti ijtihad yang ada. Artinya jika saya mengikuti hanya yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu lantaran saya hanya berusaha untuk berhati-hati. Adapun untuk kalangan Nahdhiyin yang lebih banyak bentuk ijtihadnya itu juga pilihan mereka, saya tidak ada hak untuk melarangnya, pun kaum muslimin yang lainnya. Selama dia bersyahadat dan sudah baligh dan dewasa tentu saja mereka berhak memilih mana yang terbaik menurut mereka. Adapun saya, cukuplah saya berhati-hati hanya dengan mengikuti sunnah Rasulullah dan para sahabatnya, tanpa harus saya mempersalahkan mereka yang tidak sama dengan saya. 

Namun, lagi-lagi sayapun terbentur dengan tingginya biaya pendidikan yang secara kolektif distandarisasi oleh hampir rata-rata lembaga non Nahdhiyin, seperti lembaga pendidikan yang bermanhaj IM, HTI, Persis atau Muhammadiyah. Di mana lembaga pendidikan garapan mereka tersebut tampak begitu prestige bagi sebagian kalangan bawah. Termasuk saya. 

Kadang saya bertanya-tanya. Kenapa lembaga-lembaga pendidikan yang menurut saya lumayan lurus dalam mengimplementasikan sunnah Nabi tersebut terkesan menaruh tarif yang terlalu tinggi bagi saya sebagai masyarakat biasa yang pendapatannya standar 'bawah'. 

Tidak bisakah mereka 'menyaingi' lembaga pendidikan tradisional dalam hal biaya pendidikan? Seperti yang dipraktekkan oleh kalangan Nahdhiyin yang sebisa mungkin menekan biaya pendidikan sehingga kalangan bawah pun bisa menikmati pendidikan murah dan menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga pendidikan Nahdhiyin tersebut. 

Termasuk saya. Lantaran ketidak-mampuan saya dalam memenuhi standar harga tinggi mereka tersebut, sehingga pupus sudah niatan saya untuk menyekolahkan anak saya di lembaga pendidikan atau institusi yang saya telah sebutkan di awal paragraf dan juga lembaga-lembaga lain yang sejenisnya. Dengan sedikit 'terpaksa' karena keterbatasan tersebut, saya harus rela anak saya ikut menghafal dan menyenandungkan 'lagu-lagu' sholawat, dan segala jenis ritual ijtihad kaum Nahdhiyin yang sangat jarang dicontohkan oleh para Sahabat dan Ulama salaf lainnya. 

Kadang saya heran, tidak bisakah lembaga pendidikan di luar Nahdhiyin memanfaatkan dana-dana BOS dari pemerintah atau yang sejenisnya? Sehingga -gap- tersebut bisa hilang atau minimal dapat meringankan standar biaya mereka? Sehingga kami-kami ini yang saat ini belum mampu menembus standar "mewah" bisa pula merasakan pendidikan mereka? Ataukah memang lembaga-lembaga tersebut lebih mementingkan materi ketimbang mendidik generasi islam untuk tetap melangkah di atas sunnah? 

Ya Allah ya Rabbi tolonglah kami ummat yang terlalu lemah ini, dengan kekuatan-Mu yang menciptakan alam semesta ini, hindarkanlah hati-hati kami atas ketergantungan pada materi dunia, condongkanlah hati para pemimpin dan pendidik kami kepada kemurnian ajaran-Mu, karena sungguh tiada yang mampu menyondongkan hati segala makhluk di dunia ini kepada millah-Mu kecuali hanya Engkau.
Share:

Habis Mengusir, Kemudian Mengundang Jin

"Hahaha.." Imran tertawa sendiri memperhatikan pengajian yang sedang diadakan di kediaman bapak Purun yang letaknya beberapa rumah dari rumah kediaman Lukman teman pondoknya Imran.

"Kenapa mran? Ente liat lagi?" Tanya Lukman.
"Iya luk. Politiknya para jin ni emang top dah." Jawab Imran. "Tadi sewaktu pengajian dimulai ane liat dedemit pada berlompatan lari menjauhi tu majlis." Sambungnya lagi
.
Lukman hanya terkekeh, karena memang dia tidak dapat melihat apa-apa. Namun Imran memang sejak di pondok sudah dikenal di seantero pondok dengan kemampuannya yang katanya dapat melihat bangsa jin. Tapi iapun tidak pernah melakukan apa-apa ketika melihat makhluk-makhluk astral tersebut. "Sesekali kaget memang luk. Tapi lama-lama juga terbiasa." Terangnya pada Lukman suatu hari.
.
"Ente ga kepikiran dakwah ke mereka mran? Suatu hari teman pondok yang lain bertanya iseng.
.
"Ngga lah, menurut Ust. Syukri, bukan wewenang manusia berdakwah dengan Jin. Karena dari bangsa merekapun sudah ada kaum muslimin yang tugasnya mendakwahkan Islam sebagaimana bangsa kita." Jawab Imran.
.
Kembali ke rumahnya Lukman. Malam itu Imran bertandang silaturahmi ke rumah teman sekamarnya Lukman. Sudah lama mereka memang tidak bertemu semenjak angkatan mereka tamat dari pondok yang terletak di kaki gunung merbabu Salatiga itu. Imran menurut kabar yang didengar oleh Lukman, melanjutkan studi di LIPIA Jakarta. Sedang Lukman membantu pamannya mengurus peternakan di Bogor, sambil mengisi kegiatan pengajian di sekitar kampungnya tersebut.
.
"Giliran majlis yasin dan tahlil kelar, mereka pada nongol lagi tu mendekat." Ujar Imran.
.
"Mungkin karena kepulan asap rokok itu kali ya yang menarik mereka untuk mendekat kembali?" Tebak Lukman sambil memandang majlis taklim di rumah Pak Purun, Lukman mengerjap-ngerjapkan matanya.
.
"Bisa jadi luk. tu dedemit ane liat memang seperti menghirup-hirup kepulan asap rokok para jama'ah. Keliatan Majelis Yasinan ama Tahlilan nih, habis ngusir para Jin terus diundang lagi buat dijamu asap rokok.. hehe.. lucu" Jawab Imran.



"Kenapa ane bilang begitu? Ente harus tahu luk, sedari zaman dahulu tu, rokok atau menyan itu jadi makanan khas yang disajenkan sama sepuh-sepuh agama kejawen. Jadi bagi masyarakat jin wilayah indonesia nih, rokok termasuk makanan lezat bagi mereka. Makanya ane simpulkan begitu, habis mereka mengusir para jin dengan doa-doa tahlil, eh.. mereka mengundangnya kembali dengan menyuguhkan asap rokok. ya Allah.." Tambah Imran.
.
"Memang betul sudah Allah memerintahkan agar kita senantiasa berdoa sebelum melakukan setiap kegiatan luk. Mereka dimana-mana ada. Seperti hendak menyentuh kita." Lanjut Imran.
.
"Beruntung ente kaga melihat mereka." Tambahnya lagi. Lukman mengangguk-angguk
Share:

Trik Hacking Hafalan Al-Quran Kilat Bagi Orang Dewasa

Pernah tidak sebagai orang tua terlintas dalam benak anda semua untuk kembali menambah hafalan Al-Quran yang sudah bertahun-tahun tidak lagi digeluti bahkan terlupakan? Sudah pasti pernah ya saudaraku.

Kata sebuah pepatah yang sering saya dengar waktu masih ingusan. (Sekarang pun sebenarnya saya juga sering "ingusan"). He

.
"Belajar selagi kanak-kanak bagaikan mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagaikan mengukir di atas air."
.
Saat itu, tentu saja otak saya belum bisa mencerna dengan benar maksud dari pepatah di atas itu apa. Bagaimana mungkin mengukir di atas air? Pahat yang dibutuhkan pahat macam apa yang bisa mengukir air? Sungguh terlalu orang dewasa ini. Rutuk saya saat itu.
.
Namun kini sayapun akhirnya paham seiring dengan bertambahnya usia. Sayapun memahami alasan sehingga terciptanya pepatah tersebut. Orang dewasa itu sebagian besar memahami informasi hanya untuk sekedar tahu, bukan untuk dihafalkan. Syukur-syukur jika pas lagi dibutuhkan masih ingat. Hehe.
.
Beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebab susahnya orang dewasa menghafal adalah karena mereka mengarahkan kemampuan otaknya lebih prioritas kepada hal-hal yang dibutuhkan dalam pekerjaan. Tentu saja hal ini menyebabkan hal lain yang di luar rutinitas kerja dinomorduakan. Bukan generalisir, tapi memang sebagian besar faktanya seperti itu.
.
Termasuk dalam menghafal al-Qur'an. Mungkin tidak semua orang dewasa bisa menyempatkan waktu menambah hafalan qur'annya secara rutin. Padahal kita pun mungkin secara garis besar sudah tahu bahwa: salah satu penolong kita di alam kubur kelak, yang menemani dan menerangi kubur kita itu adalah al-Quran yang kita bermanja-manja dengannya sewaktu di dunia.
.
Nah, saya termasuk sosok yang agak sulit menghafal Qur'an. Mau gimana lagi, otak yang Allah berikan ini memang terlalu sibuk dalam berfikir, sehingga sangat sulit sekali untuk fokus, terlalu banyak protes, aksi, demo. Memikirkan satu masalah yang sebenarnya tak terlalu penting dan berbagai curious sehingga sebagian besar informasi yang datang terlalu tergesa-gesa untuk pergi menghilang. Hehe. That's okay.
.
Namun tentu saja, sesuatu yang baik untuk diri ini harus saya paksakan, dengan harapan kelak menjadi budaya yang baik dan berguna minimal bagi diri saya sendiri.
.
Ok, lanjut. Salah satu teknik yang bisa membantu saya menambah hafalan Quran adalah listening. Di mana teknik ini fokus mengandalkan indera pendengaran. Alhamdulillah, saat ini kita begitu dimudahkan dengan berbagai macam fasilitas teknologi, salah satunya adalah smartphone. Saya menginstall aplikasi Qur'an yang memiliki fitur murottal beberapa syaikh penghafal Qur'an terkenal semisal Syaikh Al-Ghomidi, Syaikh Al-Mathrud dll. Hal itu jelas sangat memudahkan saya. Kemudian ada fitur dimana saya bisa memainkan ayat tertentu dari sebuah Surah dari al-Qur'an dengan cara di'loop', ini mungkin adalah metode yang diistilahkan sebagai teknik muroja'ah alias mengulang-ulang.
.
Mungkin sebagian orang jika berangkat kerja mengendarai motor atau mobil mengisi waktu dengan memutar puisi-puisi indah kehidupan yang berbaris di playlist mereka, pun saya melakukannnya pula. hanya saja dengan me-loop-ing sebuah ayat yang hendak saya tanamkan di otak saya.
.
Hasilnya alhamdulillah, meskipun tetap saja tiada gading yang tak retak, sama halnya dengan otak saya, ada sedikit keretakan di sana sini dalam proses penanaman ayat-ayat suci al-Qur'an ini. Namun saya yakin, ciptaan Allah satu ini -otak- sangat luar biasa sekali kemampuannya. Saya yakin itu. Meskipun saya juga sadar, ungkapan pepatah yang saya kutip di awal paragraf tadi memang ada benarnya.
.
Tapi saya yakin untuk hal sebaik ini rasanya sayang jika saya tidak memaksa otak saya untuk terbiasa melakukannya. Karena sebagaimana kawan-kawan pahami bahwa kematian itu adalah hal yang paling dekat jaraknya dengan kita. Kan ga lucu pas saya lagi naik motor, tiba-tiba dari arah belakang saya dilindes truk tronton, badan saya hancur tapi smartphone saya selamat.. celakanya smartphone saya begitu didengarkan lagi memutar lagunya Ayu Ting ting yang masih bingung dengan alamat suaminya? he
Share: